26.8.07

Nurani

Namanya Hiro. Ini kali pertama dia memakai baju. Warnanya? Cuma putih. Baju itu begitu saja nemplek di tubuhnya. Iya seperti sulap, kamu pasti tidak percaya. Tapi believe it or not memang begitu kenyataannya. Baju putih itu memberinya rasa nyaman dan damai. Pandangannya lepas, semua begitu indah dan menawan, rasanya seperti duduk di awan dan memandang ke segala arah. Rasa lainnya begini: seperti naik mobil Be-eM-dabelyu dikelilingi wong-wedok huayu-huayu (saking ayunya), seperti mempunyai seorang emak yang baik-hati, seperti seorang kere yang hari itu mendapat uang lebih banyak dari hari yang lalu.

Well … Semuanya mengalir, layaknya arus sungai, kehidupan pun demikian. Tahun bertambah. Tentang baju, koleksinya bertambah dengan satu warna baru: hitam. Setiap kali baju ini melekat di tubuhnya, amarah selalu menyertainya. Bukan hanya amarah tapi juga serakah, iri-hati dan kedengkian. Sekali waktu, ketika memakai baju hitam itu, ia menjelma menjadi seorang raksasa yang nggegirisi yang dengan kekuatannya siap memporakporandakan segala sesuatu: gunung, sawah, kebun, rumah penduduk bahkan swalayan, bioskop dan gedung pencakar langit. Pasukan DALMAS, PHH dan BRIMOB kewalahan menghadapinya. Juga SWAT, 007, CIA dan FBI. Tak ketinggalan Intifada, Mujahiddin dan Hizbullah. Semuanya lewat. Ke laut!

“Gawat komandan! Raksasa itu tak terkendali. Dia telah menghancurkan semua kekayaan bumi kita. Dari yang alami sampai yang berbau teknologis”

“Bagaimana dengan gas air mata? Atau M-16? Tank- tank dan pesawat tempur kita?” tanya sang komandan dengan harapan akan sebuah perubahan.

“Siap, sudah dilaksanaken! Semua polisi dan tentara di dunia telah berusaha secara maksimal tapi dianya cuek banget. Jadi kita harus bagaimana lagi, Dab?”

“Hush! Pakailah bahasa yang baek dan bener.” Komandan itu terdiam dan nongkrong dengan pandangan lesu.

Hiro telah berganti baju dan kekacauan berhenti dengan sendirinya. Tak ada yang tahu kemana perginya raksasa itu. Mereka sibuk membangun kembali puing-puing bekas peperangan yang seru antara Hiro dan dunia internasional. Hari itu dia merenung di tepian sawah. Dia merenung di lembah bukit, di pantai, di awan-awan.

“Damn ! mengapa aku begitu baik hati tapi juga sekaligus bajingan. Mengapa aku begitu sedih sekaligus gembira melihat kemalangan dan kebahagiaan”

“Itu karena kamu memakai baju-baju itu”, sebuah suara misterius menimpali.”

“Hei, siapapun kamu tunjukkanlah dirimu. Jangan main sembunyi-sembunyian. Aku lagi ngga’ mood untuk bermain petak-umpet.”

“Kamu kelihatan seperti seorang gadis yang sedang menanti sebuah ke-ho’oh-an dari seorang pejantan. Siapa diriku? that’s not important. Yang pasti bukan sesuatu penampakan yang kamu butuhkan tapi jawaban. Dan itu sudah kau dapat. Apa yang kamu cari, apa gunanya kamu merenung di delapan penjuru mata angin jika bukan sebuah jawaban. Sebuah jawaban, dodol!”

“OK! Siapapun dirimu itu memang tidak penting. Tak jadi soal. Satu yang membuatku gelisah adalah abab-mu itu lho, bau, zshieeh pffheh huek tcshuh! So don’t stand so close to me and don’t ever call me dodol again. Jaga jarak minimal empat meter. But after all terima-kasih buat jawabannya. Kelihatannya oke banget dan cocok dengan hipotesa-ku.”

“Sialan kamu! Dikasih pemecahan malah menyinggung perasaan. Untung aku bukan sesuatu yang perasa. Perasaan itu telah kutinggal jauh entah kapan dan dimana. Karena sebenarnya aku adalah dirimu yang lain. Mengapa aku menjadi sedemikian handal? Itu karena aku tak sudi memakai baju. Aku telanjang.

Hiro termangu beberapa jurus (sumpah!! dia belum pernah belajar ilmu beladiri apapun tapi entah mengapa dia tiba-tiba menjadi pandai sekali memainkan jurus demi jurus dengan fasih). Dirinya masih terus bertanya-tanya. Benarkah suara tadi adalah suaranya sendiri? Mengapa terasa begitu asing? Atau inikah yang dinamakan suatu penemuan terhadap sesuatu yang hilang? Semacam wangsit?

“Ha ha ha ha (suara itu mengagetkan, tebal dan keras seperti suara preman politik yang puas karena kenyang oleh mangsanya) mengapa mesti terus termangu. Memang bagus ragukanlah dirimu sendiri seperti apa kata Descartes. Tapi aku memang kamu. Telanjanglah Hiro. Copot dan bakar apa yang menjadi atributmu. Bercintalah denganku. Maka kebahagian dan kedengkian akan sirna.”

Suara itu menggelegar tak terbantah. Hiro seperti kesetrum oleh tegangan yang maha dahsyat. Dia ekstase, bergerak spontan menuruti suara misterius.

Sesaat kemudian dia mendapati dirinya benar-benar luar biasa. Tak ada lagi segala sesuatu yang menjajahnya baik dari sisi putih maupun hitam, kegelisahan-ketenangan, kesabaran-kemarahan.

Hiro telah menemukan kediriannya. Dia adalah hati nurani manusia yang terdalam. Ia merdeka. Tidak terlibat dengan masalah nilai dan makna. Ia melihat manusia –manusia milenia ketiga bertindak tanpa keberadaan dirinya. Ia melihat tanpa perasaan apapun.

No comments:

Post a Comment