8.2.11

Tahun Sembilan Puluh Lima

Senja masih begitu muda ketika Hiro duduk di dermaga beton itu. Di seberang tampak kapal-kapal fery berlalu lalang, sementara banyak juga kapal barang dan kapal nelayan yang cuma mengapung dan bergoyang serasa mendengar musik dangdut. Mereka pasrah ditimpa kilau sinar keemasan senja yang muda. Air laut, beton dermaga, dinding besi kapal, dinding gedung maskapai pelayaran semua bagai emas yang berkilauan. Pemandangan yang cukup memukau. Semburat keemasan kilau senja selalu membuat hatinya merasa temaram. Membuatnya melamun jauh entah apa dan dimana.


Sesaat lamunannya buyar ketika Hiro sadar lengan bajunya serasa ditarik-tarik oleh seseorang. Benar saja, disampingnya ada seorang gadis kecil dengan mata yang indah tak kalah indah dengan kilau senja sedang duduk disampingnya.

"Tuan sedang apa?, ujarnya.

Hiro tersenyum mendengar kata tuan terucap dari mulut gadis kecil ini.

"Sedang lihat senja."

"Senja? Apa itu? Kenapa tuan ngga lihat kapal-kapal saja? Atau lihat Puan-puan yang jelita itu? Kenapa senja?"

Hiro tak bisa menahan senyumnya.

"Coba lihat itu di ujung barat. Bulatan merah itu matahari namanya. Disana dia akan terus pergi dan kemudian tenggelam."

"Lantas?"

"Nah, sebelum tenggelam ada sinarnya yang tertinggal dan tidak terlalu sakit terkena mata. Coba siang hari kamu melihatnya tentu silau dan perih di mata, kan? Sedang kalau sore hari sinarnya menyebabkan benda-benda yang tersentuh sinarnya menjadi berkilau keemasan. Bukankah itu indah?"

"Ah, biasa aja. Aku lebih suka lihat air laut. Lebih suka merasakan angin. Bukankah itu lebih bisa dirasakan daripada senja?"

Eh, buset. Kritis amat nih anak pikir Hiro. Jangan-jangan bukan anak-kecil biasa. Jangan-jangan gadis disampingnya ini sekedar gadis kuntet. Lalu di lihatnya gadis disampingnya itu. Dari kepala sampai kaki terlihat seperti anak usia sewajarnya menandakan kalau memang dia seorang gadis kecil berusia kurang lebih lima tahun. 

"Namamu siapa?"

"Tuan siapa?"

Nah. Hiro jadi tambah geli sendiri menghadapi gadis kecil ini. Sudah dipastikan dari suaranya kalau dia memang benar-benar seorang gadis kecil.

"Aku Hiro. Panggil aja aku, mas Hiro."

"Tuan Hiro. Aku panggil tuan Hiro saja, ya?" ujarnya sambil mengerjap-erjapkan matanya yang indah. Sambil tersenyum. Senyum yang meninggalkan lesung pipit. Sambil memilin rambut ikalnya yang bergoyang-goyang diterpa semilir angin sore, rambut yang serasa mendengar musik dangdut. Hahaha.

"Namamu siapa?"

"Kata mamah, ngga boleh kasih tau nama kita sama orang asing."

"Wah kamu curang! Sini! Tuan Hiro akan menghukummu."

Diangkatnya gadis kecil itu ke pangkuannya.

Mereka berdua menikmati pemandangan alam. Yang satu menikmati senja. Satunya lagi menikmati semilir angin dan debur ombak. Sampai pada waktu entah kapan dan dimana. Mereka masih menikmati waktu seperti itu. Berdua saja. Menikmati senja, semilir angin dan debur ombak.

Dan Tiba-tiba tahun menjadi 2011.

Mak Jang!!

No comments:

Post a Comment